BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 17 November 2009

Kata yang Baik Laksana Pohon yang Baik

“….perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik. Akarnya kokoh (menghunjam tanah), dan ranting-rantingnya menjulang ke langit….” (QS Ibrahim ayat 24)

Membaca ayat Al-Quran tersebut, niscaya kita menyadari bahwa apa yang kita lihat terjadi di negeri tercinta belakangan ini sungguh berlawanan. Betapa leceh nilai kata-kata dalam kehebohan yang kita saksikan melalui media massa terutama televisi itu—kata-kata dalam pembicaraan telepon yang disadap, kata-kata dalam BAP yang secara resmi sudah ditandatangani kemudian diingkari, kata-kata dalam kesaksian di bawah sumpah yang sulit diyakini.


Sebuah jalan di Pakistan mengabadikan nama Annemarie Schimmel (7 April 1922-26 Januari 2003).

Dalam kehebohan yang sungguh memprihatinkan inilah dengan sedih saya mengenang mendiang Annemarie Schimmel, seorang profesor kelahiran Jerman yang juga dikenal sebagai pakar budaya Indo-Muslim, penulis sekitar 50 buku tentang Islam dan Sufisme, dan juga seorang penyair. Prof. Schimmel mungkin hanyalah satu dari sedikit orang yang sangat percaya pada kekuatan kata, pada peran penting kata-kata dalam kehidupan manusia. Demikian kuat keyakinan itu, hingga dia pernah mengatakan, bahkan hanya kata saja akan mampu menyatukan dunia. Tentu, sebagaimana Budha pernah bersabda bahwa “Better than a thousand hollow words, is one word that brings peace—di hadapan seribu kata-kata dangkal, lebih baik tentu satu kata yang membawa perdamaian, ” maka kata yang berguna hanyalah kata yang bermakna mulia. Kata yang baik.

Sebuah Jembatan yang Terbangun dari Kata-Kata
”Kata yang baik laksana pohon yang baik...”, demikian Annemarie Schimmel mengutip ayat Al Quran di atas. ”Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata.”

Pada musim semi 1996, perempuan berperawakan mungil itu menjadi satu-satunya pusat perhatian dalam pertemuan yang dihadiri para penulis, penerbit, dan pejabat tinggi Jerman, termasuk Presiden Roman Herzog. Dan dia bicara tentang kata.

”Kata memiliki kekuatan yang tak dapat kita ukur. Dan pada kekuatan kata inilah terletak tanggung jawab para penyair, lebih-lebih lagi para penerjemah, karena satu kesalahan samar saja dapat memicu kesalahpahaman yang berbahaya.”

Nyata benar pesan yang disampaikan Schimmel saat menerima penghargaan tahunan Peace Prize dari German Books Trade itu bukan sekadar sambutan seremonial. Persis setelah namanya diumumkan sebagai pemenang Peace Price setahun sebelumnya, sekitar dua ratus intelektual Jerman dan Eropa memprotes penganugerahan tersebut. Lewat kata-kata, mereka menuding Schimmel mendukung apa yang mereka namakan sebagai ”fundamentalisme Islam—sebuah kampanye yang disebut Schimmel telah ”menghancurkan apa yang saya bangun hampir seumur hidup saya, melukai hati dan pikiran saya....” Kendati demikian, Schimmel tetap berbesar hati bahkan memanjatkan doa, ”Semoga mereka yang menyerang saya bahkan tanpa mengenal saya secara pribadi atau membaca karya-karya saya, tidak akan mengalami luka seperti yang saya rasakan.”

Ketulusan Schimmel itu tentu tak lepas dari masa panjang kehidupan yang dilaluinya dengan merawat dan mencintai ”kata-kata yang baik”. Wanita kelahiran Erfurt, Jerman, ini belum lama beranjak dari usia 10 tahun ketika dia terpikat pada puisi-puisi berbahasa Arab. Lewat jalan kata-kata pula dia mengenal sejarah dan kebudayaan Islam, menekuni kajian Islam dan menghasilkan karya-karya monumental seperti Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal; Mystical Dimensions of Islam; And Muhammad is His Messenger; A Two Colored Brocade: The Imagery of Persian Poetry; Calligraphy and Islamic Culture.

Demikian besar keyakinan Schimmel pada kata-kata, seyakin dia pada moto penyair Jerman Friedrich Ruckert, bahwa “Puisi semata mampu menuntun manusia menuju rekonsiliasi dunia.” Puisi, menurut Ruckert, adalah “lidah utama umat manusia”; puisi menghubungkan manusia karena ia menjadi bagian dari setiap peradaban di dunia.

Schimmel menggambarkan kekuatan kata dalam membangun hubungan antarmanusia ini dengan menyitir sebuah cerita dalam tulisan Mawlana Jalaluddin Rumi. Dalam prosa berbahasa Persia itu, Rumi—sufi dan penyair abad ke-13 yang mendapat perhatian besar Schimmel selain penyair Pakistan Muhammad Iqbal—mengisahkan seorang anak laki-laki yang sering mengeluh kepada ibunya tentang sosok hitam yang menakutkannya. Akhirnya sang ibu menasihati agar anaknya menyapa saja sosok hitam tersebut karena sifat sosok itu bisa diketahui dari jawabannya terhadap sapaan kita. Sebab kata-kata, sebagaimana sering dinyatakan para penyair Persia, menyingkapkan sifat pembicaranya layaknya bebauan—persis dengan kenyataan bahwa kita tak mungkin tertipu oleh kue yang bertabur bawang putih, bukannya almond, kendati penampilannya sungguh mengundang selera.

Pesona kata jua yang telah membawa Annemarie Schimmel melanglang berbagai kawasan masyarakat Muslim; masyarakat yang disebutnya lebih terpesona pada kata dan bahasa, berbeda dengan rekannya di Barat yang lebih terpikat pada musik. Di usianya yang masih belia ketika itu, sebagai profesor Sejarah Agama di Universitas Ankara, Schimmel seolah mengenali kembali sudut-sudut Istanbul masa lalu melalui baris-baris tentang kota indah itu, yang didendangkan para penyair Turki selama hampir lima abad. Schimmel pun mampu mencintai budaya Pakistan melalui syair-syair yang dinyanyikan di seluruh provinsi di negara itu. Schimmel juga sempat mencatat pengalaman seorang mahasiswanya, satu di antara warga Amerika yang disandera di Teheran saat terjadi Revolusi Iran. Sang mahasiswa menyadari perubahan sikap penyanderanya, ketika dia melafalkan sebuah syair Persia. Kata-kata dalam syair itu telah menjadi sebuah jembatan, menghapuskan perbedaan ideologis yang demikian dalam. Persis seperti yang dikatakan Herder, “Dari puisi kita mendapatkan pemahaman tentang sebuah zaman atau suatu bangsa secara mendalam, lebih ketimbang yang kita dapatkan dari sejarah politik dan militer.”

Sang Pembangun Jembatan itu kini telah tiada. Annemarie Schimmel, meninggal dunia 26 Januari 2003 di Bonn, Jerman, pada usia 80 tahun. Hanya semangat dan kecintaannya terhadap “kata-kata yang baik” yang dapat kita lestarikan, dan sebenarnyalah kita perlukan, di era kini ketika kata-kata lebih sering dipermain-mainkan ketimbang meyakinkan; lebih sering memisahkan ketimbang menyatukan; lebih sering memutuskan ketimbang menghubungkan. Betapa terasa kini semangat dan kecintaan Schimmel itu demikian berharga. Dan betapa mengharukan karenanya, kerendahan hati pencinta kata itu, yang tecermin dalam puisinya:

sang pencinta,
menenun satin dan brokat
dari air mata, O Kawan, agar dapat menghamparkannya
suatu hari, di bawah telapak kakimu...
dan aku menenun
sutra kata-kata yang selalu baru
hanya untuk menyembunyikanmu

0 komentar: