BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 18 November 2009

Ada Tiga Jenis Guru, Anda Termasuk yang Mana?



Seorang kawan, yang kebetulan menjadi direktur di sebuah sekolah, membisikkan sesuatu yang penting kepada saya:
“Pak Munif tolong beri motivasi dan semangat para guru ya agar mereka lebih baik lagi dalam bekerja.”

Memang, sekolah sebagai institusi yang di dalamnya merlukan sentuhan manajemen sumber daya manusia—sebagai tingkat manajemen yang tertinggi—sudahlah sewajarnya apabila guru menjadi bagian mahapenting dari institusi tersebut. Bahkan, kualitas pendidikan bangsa ini sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh kualitas para gurunya. Guru adalah ”bos in the class”. Guru adalah orang yang bertatap muka langsung dengan para peserta didik. Artinya, roda komunitas yang bernama sekolah sangat diwarnai oleh kinerja para gurunya.

Pentingnya peranan dan kualitas seorang gurum, sebagaimana telah saya tunjukkan, ternyata berdampingan dengan banyaknya problematika yang dihadapi oleh para guru. Hal yang mendasar pada problem tersebut adalah ”kemauan” untuk maju. Apabila kita percaya tidak ada siswa yang bodoh dengan ”multiple intelligences”-nya masing-masing, maka kita juga harus percaya bahwa ”tidak ada guru yang tidak becus mengajar”. Hanya saja, kenyataan yang terjadi adalah keengganan guru untuk terus belajar dan bekerja dengan baik disebabkan oleh, ada kemungkinan, tidak adanya ”kemauan” untuk belajar dan maju.

Saya sangat setuju dengan pernyataan seorang teman yang memimpin sebuah sekolah yang berkualitas: “Pak Munif tidak semua guru lho mau diberikan pelatihan.” Jika seperti itu, maka sebagus apa pun materi dan kemasan dalam pelatihan itu, biasanya guru tidak akan berhasil mengambil manfaat dari pelatihan itu. Oleh sebab itu, saya merancang sebuah sesi pendaftaran kepada guru-guru saya yang ”mau” ikut pelatihan dengan batasan waktu. Dari situ saja saya sudah tahu, mana guru yang ”tertarik” dan mana yang ”tidak tertarik”.

Dua tahun yang lalu, pemerintah memulai melaksanakan program sertifikasi guru. Program ini sebenarnya diawali dari sebuah hipotesis bahwa guru yang profesional dan berkualitas akan terwujud apabila kesejahteraannya mencukupi. Sebaliknya, jangan harap seorang guru akan profesional jika kesejahteraannya tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari.

Beberapa bulan yang lalu, ternyata hipotesisi itu terjawab. Dari data statistik yang dianalisis oleh teman-teman asesor menyebutkan bahwa para guru penerima tunjangan profesi yang cukup besar, ternyata belum menunjukkan kemajuan kualitas dalam proses mengajarnya. Mereka tidak berubah. Mereka tetap mengajar biasa-biasa saja. Meskipun mereka sudah menerima tunjangan profesi, sebagaimana yang diharapkan pemerintah untuk menjadi guru yang profesional, dengan berbagai kriteria yang sudah ditentukan dalam proses sertifikasi guru. Jadi, menurut saya perlu ditambahkan hipotesis baru, yaitu ”besarnya penghasilan guru belum tentu menjadi penyebab berkembangnya kualitas guru”.

Nah, dilihat dari faktor ”kemauan” untuk maju, maka ada tiga jenis guru. Pertama, ”guru robot”, yaitu guru yang bekerja persis seperti robot. Mereka hanya masuk, mengajar, lalu pulang. Mereka tidak peduli kepada beban materi yang harus disampaikan kepada siswa. Mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam menerima materi. Apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru dan sekolah pada umumnya. Mereka mirip robot yang selalu menjalankan peritnah berdasarkan apa saja yang sudah diprogramkan.

Guru jenis ini banyak sekali menggunakan ungkapan seperti ini: “Wah …itu bukan masalahku…itu masalah kamu. Jadi selesaikan sendiri ….” Atau “Maaf aku tidak dapat membantu … sebab hal ini bukan tugas saya…”

Kedua, ”guru materialis”, yaitu guru yang selalu melakukan hitung-hitungan, mirip dengan aktivitas bisnis jual-beli atau yang lainnya. Parahnya, yang dijadikan patokannya adalah ”hak” yang mereka terima. Setelah ”hak”-nya diperoleh, barulah ”kewajiban” mereka akan dilaksanakan bergantung besarnya ”hak” yang mereka terima. Guru ini pada awalnya merasa profesional, namun akhirnya akan terjebak dalam ”kesombongan:” dalam bekerja. Sehingga tidak terlihat manfaatnya dalam menjalankan pekerjaannya.

Ungkapan-ungkapan yang banyak kita dengan dari guru jenis ini antara lain: “Lha wong cuma digaji sekian saja… kok mengharapkan saya total dalam mengajar… jangan harap ya …” Atau, “Percuma mau kreatif, lha wong penghasilan yang diberikan kepada saya hanya cukup untuk biaya transpor kok…” Atau, “Kalau mengharapkan saya bekerja baik, ya turuti dong permintaan gaji saya sebesar...”

Ketiga, ”gurunya manusia”, yaitu guru yang mempunyai keikhlasan dalam hal mengajar dan belajar. Guru yang mempunyai keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswanya berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlas untuk berintrospeksi apabila ada siswanya yang tidak bisa memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar. Sebab mereka sadar bahwa profesi guru adalah makhluk yang tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang juga punya keinginan kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan mengembangan.

”Gurunya manusia” jelas juga manusia yang membutuhkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bedanya ”gurunya manusia” dengan guru jenis lain adalah dia menempatkan penghasilan sebagai akibat yang akan didapat dengan menjalankan kewajibannya—yaitu keikhlasannya mengajar dan belajar. Sudah banyak contoh di mana seorang guru tiba-tiba diguyur oleh Allah Swt. dengan rezeki yang datang dari dari pintu yang tidak terduga.

Ada teman guru yang mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri sebab mempunyai prestasi dalam membuat ”lesson plan”. Ada teman guru mendapatkan rezeki sebab tekun menulis buku ajar untuk siswa di sekolah tempat dia bekerja. Ada teman guru yang menulis kisah-kisah yang unik yang dialami di kelas pada saat dia belajar. Ada teman guru yang sekarang menjadi ”bintang” dan pemikirannya banyak sekali dibutuhkan untuk banyak guru di Indonesia, dan lain-lain.
Anda termasuk guru jenis yang manakah?

0 komentar: