BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 13 November 2009

Backpacker, Jalan Murah Ke Eropa

jalan-jalan murah ke Eropa? jadi backpacker yuk


Melihat lebih dekat Eropa dengan dana terbatas? Jadi Backpacker yuk

Akhirnya setelah menunggu berapa lama untuk bisa melancong ke Eropa saya berhasil mendapatkan visa untuk berjalan- jalan ke beberapa Negara di Eropa Barat sebagai backpacker. Namanya juga perjalanan mancanegara, karena berkaitan dengan urusan kelengkapan dokumen dan biaya yang tidak sedikit, maka semuanya sudah saya persiapkan dengan perencanaan yang sangat matang beberapa bulan sebelumnya, terutama mengenai budget, karena saya membiayai sendiri perjalanan ini dari uang tabungan hasil kerja selama 2 tahun terakhir.

Perjalanan ini bukan hanya perjalanan fisik semata, tapi memenuhi obsesi untuk bisa berwisata tidak hanya melakukan kegiatan standar sebagai turis manis yang sibuk mengambil foto dan mengandalkan program dari biro perjalanan, tetapi saya ingin mempunyai pengalaman yang seru juga mengenal kebudayaan dan berinteraksi dengan orang-orang setempat dan backpacker dari negara –negara lain.

Untuk pengurusan visa saja sudah memakan waktu dan perlu strategi, terutama setelah adanya isu teroris sejak tahun 2003, beberapa Negara yang tergabung dalam Schengen, memperketat persyaratan pengajuan visa. Untuk backpacker yang bermimpi berjalan-jalan ke beberapa Negara di Eropa Barat, dengan dana yang terbatas, harus pandai –pandai membaca ketentuan yang ditetapkan tersebut sehingga permohonan visa kita tidak ditolak. Sebelumnya saya sibuk surfing di Internet untuk mendapatkan data youth hostel yang murah, aman dan aksesnya mudah dicapai tanpa perlu transportasi serta transportasi dan akomodasi di sana. Saya memilih Negara pertama yang akan saya kunjungi Belanda karena pengurusan visa di Kedutaan ini menurut saya prosedurnya tidak ribet dan memakan waktu lama. Setelah diwawancara saat memasukkan pengajuan visa dan persyaratannya, dan menunggu selama 8 hari, akhirnya saya bahagia melihat visa Schengen dari Kerajaan Belanda ada di halaman 7 paspor saya. Puas, karena saya mengurus sendiri permohonan visa tersebut.

Belanda

Tanggal 19 Mei saya berangkat jam 18.45 dari Bandara Cengkareng dengan penerbangan KLM-810 menuju Schipol. Penerbangan ini memakan waktu sekitar 13 jam dengan transit selama 2 jam di Bandara Kuala Lumpur (dibandingkan dengan bandara Sukarno Hatta, walaupun sama-sama Negara di Asia tenggara, tetapi Bandara KL jauh lebih bersih, modern dan nyaman), untunglah dari Kuala Lumpur duduk manis di samping saya seorang laki-laki dari New Zealand yang menjadi teman seperjalanan di pesawat, sehingga sisa waktu 10 jam berikutnya tidak jadi membosankan. Teman seperjalanan saya ini bisa dibilang terbang hampir setengah dunia, bayangkan saja, kalau dihitung – hitung dia harus menempuh perjalanan dari New Zealand ke Dublin, Irlandia selama 24 jam dengan transit di 3 airport ! Dari dia juga saya mendapatkan masukan berharga tentang Bandara Schipol yang super besar dan kota Amsterdam.

Pertama menjejakkan kaki di Schipol Airport setelah urusan imigrasi, saya sempat terbingung-bingung karena teman SD saya yang semula berjanji akan menjemput ternyata tidak muncul karena ada keperluan penting, terpaksa saya harus bertanya pada orang setempat bagaimana untuk mencapai tempat penginapan yang sudah saya pesan melalui website jasa pemesanan hostel internasional. Walaupun semua informasi / papan petunjuk dan nama jalan ditulis dalam bahasa Belanda, tetapi untunglah kita tidak perlu bisa berbahasa Belanda di sini, karena sebagian besar penduduk bisa berbicara dan mengerti bahasa Inggris. Bandara yang bangunannya modern, bersih dan sangat besar ini mempunyai fasilitas yang lengkap. Di Bandara Schipol kita musee du louvreoodbisa mendapatkan informasi tempat-tempat wisata di Belanda dengan pelayanan yang professional dan ramah dan tanpa perlu keluar gedung kita bisa mendapatkan kereta menuju beberapa kota di Belanda.

Dari Schipol saya naik kereta dengan tiket seharga 3,60 euro menuju Amsterdam Centraal selama 30 menit. Di depan Amsterdam Centraal terdapat gedung kecil Amsterdam Tourism & Convention Board, yang lebih dikenal dengan VVV, tempat turis/ traveler mendapatkan informasi lebih lengkap tentang tempat wisata di Amsterdam dan beberapa kota sekitarnya, akomodasi, tempat menginap, transportasi serta tiket wisata dan transportasi. Dengan memasukkan koin 2 euro di mesin, kita bisa mendapatkan peta Amsterdam. Sebenarnya kalau saya cukup pandai membaca peta tersebut, tidak perlu pusing-pusing untuk menemukan Youth Hostel yang saya tuju. Youth Hostel ini bahkan ada di tengah –tengah kota Amsterdam, dan bisa berjalan kaki sekitar 10 menit dari Central station, tapi karena saya belum mahir membaca peta dan kurang kenal kota ini, alhasil saya terpaksa naik metro dan merogoh uang 1,60 euro, mondar mandir di Jalan NZ Voorburgwal, kedinginan di tengah rinrik-rintik hujan dengan temperatur 9 derajat Celcius, serta mampir dulu di kedai kopi (Pie Applenya benar-benar enak dan tidak terlalu mahal, hanya 2 euro) di pojok Jalan NZ Voorburgwal tersebut.

Hari pertama sebenarnya rencana saya seperti layaknya turis yang pergi ke Belanda, adalah berkunjung ke Keukenhof untuk melihat hamparan warna-warni bunga tulip mekar yang terletak tidak jauh dari Delft yang menurut buku-buku panduan wisata Eropa adalah taman terindah di Eropa. Tetapi sayangnya menurut petugas wanita di Gedung Pusat Informasi Wisata Amsterdam Keukenhof sudah tutup tanggal 19 Mei. Untuk menutupi kekecewaan saya, saya memutuskan pergi ke Volendam (kampung nelayan di Belanda). Dengan mengantongi tiket pulang-pergi Ariva-waterland seharga 6 euro yang saya beli di VVV, saya naik bis Ariva nomor 118 yang parkir tidak jauh dari Central Amstermdam

menuju Volendam. Volendam merupakan kota nelayan yang indah dengan penduduk mayoritas beragama Kristen yang taat. Saya sampai di sana sekitar jam 10.00 pagi dan kebanyakan toko-toko / restaurant di sepanjang pantai itu tutup karena penduduk bergegas pergi ke Gereja untuk misa hari Minggu. Di antara toko-toko ini terdapat Studio Foto yang menawarkan turis mengabadikan kunjungan mereka ke Volendam dengan memakai baju tradisional Volendam. Sebenarnya Belanda mempunyai beberapa baju tradisional, tetapi mungkin yang paling terkenal dan menjadi ciri khas Belanda adalah baju daerah Volendam yang oleh pemerintah Belanda setelah baju ini menang pada lomba baju tradisional kemudian dijadikan trade mark belanda. Di depan /di etalase kaca semua studio memajang foto-foto orang terkenal yang pernah berpose di studio mereka, antara lain foto aktor atau olahragawan belanda dan Eropa, dan yang membanggakan, mungkin karena banyak turis asing dari Indonesia yang selalu mengunjungi daerah pinggiran pantai ini, mereka juga memamerkan banyak foto selebritis Indonesia (yang sempat saya ingat Marisa Haque, Tasya, Meli Manuhutu, Tamara Blezinsky, Rima Melati, bahkan ada juga mantan Presiden Gus Dur), kelihatannya cara promosi mereka cukup berhasil mengundang turis asal Indonesia, saat saya sedang berdiri di salah satu Studio foto, saya mendengar seorang wisatawan Indonesia yang berkeras dengan temannya hanya ingin difoto di Studio Gus Dur pernah berpose. Saya hanya senyum-senyum membayangkan mereka harus meneliti dengan seksama foto-foto ukuran 5 R untuk menemukan wajah Gus Dur dalam kemasan pakaian tradisional Volendam.

Sudah jauh ke Volendam rasanya ada yang kurang kalau tidak menyeberang ke Marken, pulau kecil perkampungan nelayan di seberang Volendam. Di depan loket penjualan tiket kapal ferry, dari jarak 5 meter saya sudah mendengar teriakan kakek dalam beberapa bahasa (Inggris, Italia, perancis, Spanyol, Jerman dan tentu saja Belanda) mengajak turis untuk naik ferry ke Marken. Kapal- Kapal Ferry yang menyeberangi kami ke Marken semuanya dimiliki dan dikelola oleh nelayan setempat dan anak-anak mereka. Di marken kita dapat mengunjungi toko-toko souvenir dan restaurant turun temurun yang sudah ada sejak seratus tahun yang lalu. Di sini kita juga bisa mencicipi hasil tangkapan nelayan, berupa ikan tuna, udang, kepiting dan lain-lain dengan harga berkisar 2 – 4 euro per satu porsi kecil.

Dari Marken setelah menelusuri jalan NZ Voorburgwal dari Amsterdam Centraal saya beristirahat sebentar di Dam Square. Beberapa turis remaja yang baru turun dari stasiun sibuk menarik kopernya dengan buku Lonely Planet : Europe di tangan. Di alun-alun ini semua turis menikmati sore hari yang cerah di musim semi beberapa orang sibuk mengambil foto diri dan foto gedung-gedung, Musium dan Gereja di sekitar Dam Square, beberapa orang asik memberi makan ratusan burung merpati dan sebagian lagi melihat aksi senirupawan yang berlagak seperti patung menggunakan baju Nostradamus menunggu orang – orang yang lalu lalang di Dam square memberikan koin 2 atau 5 euro. Mau foto berdampingan dengan Bono vokalis U2 atau Elvys Presley dengan biaya 17,5 euro ? Di salah satu sisi

Dam Square berdiri tegak Museum Madame Tussaud yang sangat terkenal dengan patung lilin para selebritis dunia. Maka setelah berada dalam antrian yang cukup panjang, beberapa menit kemudian saya sibuk mengamati patung-patung para pemimpin dunia, ratu dan raja, dan para pesohor dunia lainnya dari kalangan seni, musik dan olahraga. Patung penyanyi Inggris Robin William George Clooney dan Bono (vokalis Grup Musik U2), Julia Robert, Lady Diana dan Elvys Presley cukup menyedot minat banyak pengunjung untuk berfoto bareng dengan gaya pengunjung yang tak kalah seru. Hanya saja sebelum bisa foto bareng dengan orang-orang terkenal tersebut, kita harus mengalami pengalaman seru.
Sebelum melihat patung-patung berwajah tampan dan cantik itu, di bagian awal terdapat bagian yang memaparkan sejarah berdirinya kota Amsterdam dengan suasana yang buram, gelap dan menakutkan, dan lebih menakutkan lagi ketika tiba-tiba muncul sosok lelaki besar dengan baju penuh bercak darah dan wajah yang menyeramkan mengaum keras sambil dengan tangannya yang berusaha menyentuh pengunjung. Spontan banyak pengunjung yang berteriak ketakutan, termasuk saya sambil berlari secepatnya meninggalkan ruangan tersebut. Rupanya atraksi tersebut adalah upaya pengelola museum untuk memberikan pengalaman yang berbeda kepada para pengunjungnya, selain juga ditunjukkan proses pembuatan patung lilin.

Keluar dari Madame Tussaud masih jam 18.30 dan langit Amsterdam di musim semi masih terang. Saya memutuskan untuk menyusuri jalan sekitar Amsterdam dengan berjalan kaki melalui Universitas Amsterdam terus ke area yang cukup terkenal di Amsterdam, Red Light (nama asli jalan ini adalah Nieuwendijk), semula sih saya ingin mengurungkan niat saya karena aura di sini agak “menakutkan” untuk orang sepolos saya, apalagi saat langkah saya mulai mendekati Red Light District dan melewati beberapa penjaga restaurant atau toko sex berbadan besar dengan jas panjang berpenampilan klimis ditambah makin mencekamkan karena pada saat saya ada di sana ada suara raungan mobil polisi. Wah, saya tadinya mau berbalik badan dan kembali ke tempat menginap melalui Unversitas Amsterdam dan Dam Square, tetapi saya pikir, daripada penasaran, saya tetap cuek ke sana. Cukup miris melewati pemandangan perempuan-perempuan muda dan cantik berpakaian minim yang dipajang di etalase kaca sepanjang gang di Red Light. Di toko –toko yang dikunjungi wisatawan di sekitar kawasan ini selain kaos bertuliskan Amsterdam, pernik-pernik lainnya (tas, topi dll) bertuliskan Amsterdam atau gambar daun ganja juga dijual dan tentunya ganja kering dan cannabis dengan berbagai macam kualitas dibungkus dalam plastic transparan. Bukan hal yang aneh melihat pemadat asik menghirup marijuana dengan bebasnya di jalan, pemerintah Belanda memang memberikan legalitas kepada mereka. What a country ! Selain itu di sini banyak sekali jasa piercing dan pembuatan tattoo.

Keesokan harinya saya memutuskan untuk memenuhi obsesi saya lainnya, menikmati lukisan salah satu pelukis idola saya, penganut aliran impressionisme – lebih tepatnya sih aliran pointilisme—van Gogh. Saya ingat betul saya begitu kagum dengan lukisan pelukis yang bernama lengkap Vincent van Gogh, ketika pertama kali saya mengenalnya dari pelajaran Seni Rupa di bangku SMP. Karena letaknya cukup jauh dari Dam Square, saya harus naik Metro untuk ke

sana . Ternyata benar juga saran pegawai di Pusat Informasi Pariwisata kemarin, jauh lebih baik kalau saya sudah membeli tiket masuk di sana sehingga tidak perlu menunggu dalam antrian yang sangat panjang di depan Museum Van Gogh. Saya berada dalam antrian pengunjung dengan tiket masuk yang tidak terlalu panjang, sedangkan di sisi saya antrian untuk mereka yang membeli tiket masuk di Musium. Tepat jam 10 pintu masuk museum dibuka, para penjaga keamanan dengan seragam warna hijau mencolok dan petugas berseragam jas hitam di dalam museum sudah siap siaga dengan handi talkienya. Penjagaan keamanan di museum ini sangat ketat, setelah melewati pemeriksaan di pintu masuk, tas atau jaket harus dititipkan di tempat penitipan yang dijaga remaja-remaja setempat, untuk mengabadikan lukisan-lukisan Van Gogh pun dilarang keras, kalau tidak petugas berseragam jas hitam akan menegur kita.

Saya kagum dengan Vincent van Gogh Foundation yang mengelola museum ini dengan professional, termasuk pula penyajian koleksi lukisan yang sangat menarik. Hal ini mungkin terjadi karena mereka juga bekerja sama dengan sebuah Bank besar di Belanda untuk mendanai program mereka. Seandainya pemerintah Indonesia bisa melakukan hal yang sama, menarik minat wisatawan dan penduduk Indonesia untuk mengunjungi museum…

Pengelola memamerkan lukisan dalam beberapa dekade kehidupan Van Gogh, dengan menampilkan tulisan rentetan kehidupan Van Gogh sejak ia kecil, sekolah di Seminari hingga ia beralih memulai karirnya sebagai pelukis dengan bekerja sebagai pemula di beberapa kantor di Belgia dan Perancis. Ingin mengetahui perjalanan hidup dan karya-karya Van Gogh? Ada satu ruangan khusus yang berisi banyak buku, dan juga kalau kita lelah berkeliling gedung dan menaiki anak tangga gedung yang berlantai 4 ini, kita bisa melihat koleksi museum di Komputer yang disediakan di ruangan ini. Di ruangan ini pula kita diajarkan cara membuat lukisan seperti yang dilakukan Van Gogh, misalnya dijelaskan bagaimana dan bahan untuk membuat dasar kanvas sebelum memulai membuat lukisan, perbedaan lukisan Van Gogh dengan lukisan pelukis aliran Pointilisme di era yang sama dengannya. Keluar dari pintu keluar, terdapat toko souvenir yang menjual post card, buku, pembatas buku dan bahkan poster berukuran besar reproduksi lukisan Van Gogh.

Brussel, Belgia

Keesokan harinya saya putuskan untuk melanglang ke Negara tetangga, Brussel, Belgia. Brusel merupakan kota yang tidak terlalu besar. Sebagian besar penduduknya berkomunikasi dalam bahasa Belanda dan Perancis, jadi saya harus membawa kamus saku Perancis saya kemana pun saya pergi. Setelah sebelumnya memesan kamar di Centre Vincent Van Gogh (Youth Hostel) yang terletak di Rue Traversiere 8 di http://www.hostelworld.com, maka saya naik kereta dari Amsterdam Central ke Brussel Midi dengan harga tiket sebesar 33,4 euro. Hostel yang dikhususkan anak-anak muda di bawah usia 35 tahun ini dulunya adalah semacam apartemen dimana Van Gogh pernah tinggal, terletak tidak jauh dari Le Botanique jardin (Taman Botanique). Hostel yang merupakan gedung tua ini, dikelola oleh anak-anak muda sehingga jelas sekali atmosfir remajanya. Di Lobby semua backpacker dari berbagai negara bisa saling berkenalan dan berbicara tentang perjalanan mereka, minum bir atau minuman lainnya, surfing internet, atau bermain bilyard di tengah ruangan yang hidup dengan musik rock yang menggema memenuhi ruangan yang tidak terlalu luas. Lobby ini semakin ramai setelah jam 6 sore, karena saat itulah kafe dibuka.

Tidak banyak obyek wisata yang bisa dikunjungi di Brussel. Hari pertama saya berjalan kaki menuju Le Botanique Jardin, Grand Place , dan Museum Komik Smurf. Le Botanique merupakan taman kota dihiasi tanaman-tanaman hias berwarna-warni dan kolam air serta patung-patung perunggu yang sudah ada di situ sejak abad pertengahan. Saat itu saya melihat sekelompok anak kecil laki-laki yang asik berteriak bermain bola, pasangan muda mudi yang memadu kasih, turis yang sedang bergaya di depan kamera dan pejalan kaki yang lebih senang melewati taman ini ketimbang harus melewati trotoar. Dari taman kota saya melanjutkan jalan-jalan siang ke Grand Place, melewati Mall Super City dan beberapa gedung kota yang bergaya Baroque. Sebelum sampai di Grand Place, saya melewati gang yang penuh kafe dan restaurant Yunani, Italia dan Maroko. Pelayan-pelayan restaurant yang berwajah rupawan dengan pakaian putih bersih atau berjas memanggil para pejalan kaki untuk mampir ke restaurant mereka. Hanya saja perut saya sudah saya isi dengan kebab yang saya beli di kedai kecil milik orang Turki di dekat Mall. Grand Place sebenarnya tak terlalu berbeda dengan Dam Square , di sini orang-orang berkumpul baik penduduk setempat dan turis mengagumi gedung-gedung tua dengan arsitekturnya yang indah.

Kalau Perancis mempunyai Menara Eiffel, Italia terkenal dengan Menara Pisa, maka Belgia mempunyai Atomium. Maka pada hari kedua sebelum saya meninggalkan Brussel, saya memutuskan untuk pergi ke land mark Belgia ini. Karena letaknya cukup jauh dari Hostel tempat saya menginap, saya harus naik Metro Line 1 A yang berhenti di Stasiun Bis Heysel. Dibandingkan dengan dua menara yang saya sebutkan tadi, Bangunan Atomium ini relative masih sangat muda, karena baru dibangun tahun 1958 dan direnovasi tahun 2003 dan tidak terlalu tinggi, dengan ketinggian dari permukaan tanah hingga bola tertinggi mencapai 102 meter.. Sesuai dengan namanya, Atomium merupakan 9 bola logam raksasa berdiameter 18 meter yang masing-masing dihubungkan / disangga dengan logam. Tiap – tiap bola mempunyai fungsi tertentu, misalnya pada bola perama selain tempat pengunjung membeli tiket masuk juga merupakan tempat pertunjukkan permanen, pada saatitu dipamerkan mobil-mobil munggil dengan berbagai warna cerah seperti permen. Pengunjung bisa mencapai bola tertinggi melalui lift setelah membeli tiket masuk seharga 7 euro. Di bola tertinggi ini kita bisa melihat pemandangan di bawah melalui layar yang mirip computer, atau kalau ingin suasana romantis sambil mencicipi makanan khas Belgia, bisa mampir di lantai teratas bola ini di “Restaurant Panorama”. Mau mengunjungi dan mengenal lebih dekat Eropa dalam hitungan menit ? Tidak jauh dari Atomium terdapat obyek wisata lainnya yang tidak kalah menarik, Miniatur Eropa. Di sini kita bisa mengenal negara-negara di Eropa melalui miniatur landmark masing-masing negara. Sayangnya saya harus merogoh dompet lagi untuk bisa melihat Eropa mini tersebut.

0 komentar: